Rabu, 25 Februari 2009

Laporan detail mengenai industri shal Kashmir ditulis pertama kali oleh William Moorcroft antara tahun 1820 dan 1823. Sekarang manuskripnya disimpan di perpustakaan Old India Office (kini Commonwealth Relations Office), Whitehall, London. Manuskrip ini menjelaskan situasi pembagian tenaga kerja dalam industri.




Pembuatan selembar shal saja biasanya melibatkan sekurangnya 12 tenaga kerja. Mereka adalah tenaga kerja spesialis, dalam artian bekerja dengan pembagian tugas yang jelas. Mereka bekerja di bawah komando dari produsen shal, yang pada masa itu disebut ‘ustad. Para produsen ini biasanya memiliki alat tenun sendiri.




Yang pertama adalah pemintal. Pada masa itu, umumnya pemintal adalah para wanita. Mereka bekerja di rumah masing-masing dengan alat pintal sendiri.



Bahan baku diberikan kepada mereka dalam kondisi yang amat kotor. Tugas pertama mereka adalah memisahkan dan membersihkan bulu-bulu tersebut. Bulu-bulu tersebut dikategorikan menjadi bulu yang bagus, bulu inferior, dan rambut.



Bulu yang akan digunakan (yang bagus) hanya sekitar sepertiga berat semula, dan ini harus dibagi lagi menjadi dua kelas kualitas. Kelas pertama digunakan untuk bagian luar shal. Sedangkan kelas kedua dikenal sebagai phiri, wol kelas dua, yang diperuntukkan sebagai bagian dalam shal (inferior).




Lembar-lembar serat ini dipintal hingga panjangnya sekitar 2.500 yard, lantas dilipat-ganda dan dipilin. Untuk pekerjaan ini sang pemintal mendapatkan maksimum 1,5 anna (mata uang yang satuannya lebih rendah dari rupee) per hari.




Pekerjaan pendahuluan sebelum masuk masa produksi penenunan terbilang independen. Hal ini berarti pembelian barang jadi atau setengah jadi sebelum proses dan penjualan serat jadi dilakukan oleh perorangan atau kelompok kerja. Mereka hanya mendapat keuntungan dari penjualan kembali serat, tanpa upah kontrak dari 'ustad.


Selain pemintalan, proses pra-produksi berikutnya adalah pencelupan warna. Proses ini dilakukan di kelompok kerja yang lain.


Memasuki tahap produksi, terlihat spesialisasi dan organisasi yang lebih tegas. Dalam sebuah industri tradisional, terdapat pembagian tugas menjadi warp-maker (pemilin lusi), warp-dresser (penganji lusi), warp- threader (pemasang lusi), pattern-drawer (pembuat pola)colour-caller (ahli warna), pattern-master (ahli pola), dan kelompok penenun.


Tugas warp-maker adalah memilin benang hingga ketebalan tertentu untuk lusi (biasanya 2.000—3.000 lusi ganda dibutuhkan untuk sebuah shal) . Kemudian warp-dresser memberi kanji pada lusi, dan warp-threader mengaitkan lusi dari ujung alat tenun ke ujung lainnya.


Selain pekerja yang menyiapkan benang lusi sebagai bagian utama shal, kelompok spesialis kerja lain menyiapkan lusi sutra sebagai border pinggir. Pemakaian lusi sutra untuk bagian ini dimaksudkan untuk memberi kekakuan pada shal sehingga dapat menggantung dengan baik pada tubuh. Sayangnya, pemberian border sutra ini dapat menyusutkan dan kadang merusak bentuk shal saat dicuci.








Pembuat pola (naqqash) karya seniman pribumi, C.1823.


Indian Office Library, Oriental Vol. 71





Selain itu, ada pula pattern drawer alias pembuat pola yang disebut naqqash. Naqqash memegang posisi kunci dalam pembuatan shal, karena ialah yang menentukan desain shal. Keahlian ini dianggap tinggi, terlebih lagi jumlah naqqash terbilang langka, sehingga ialah yang menerima pembayaran terbesar, melebihi penenunnya sendiri.

Walau kadang naqqash mewarnai sendiri gambarnya, ada pula posisi yang disebut tarah guru (colour-caller). Tugasnya adalah memilih dan menentukan warna. Ia juga membuat sketsa jumlah lusi yang dibutuhkan dalam penenunan yang akan dikerjakan.


Selanjutnya, pola shal tersebut diserahkan kepada ta’lim guru (pattern-master). Ia menerjemahkan hasil kerja tarah guru menjadi memo kerja yang dapat dimengerti oleh penenun.


Bisa dikatakan tidak ada penenun wanita, semuanya adalah pria. Kebanyakan dari mereka adalah ‘ustad itu sendiri, yang langsung menjual hasilnya kepada pembeli atau distributor. Namun, ada pula pekerja-pekerja yang diupah untuk menenun.

Ada dua sistem kontrak utama antara 'ustad dan para pekerjanya. Sistem pertama berdasar pada hasil kerja. Berdasarkan sistem ini, penenun mendapatkan hasil tetap untuk tiap ratus gelondong benang yang melewati jejeran lusi. Pendapatan maksimum per orang pada awal abad ke-19 sekitar 1 anna per hari, setara dengan 1 penny pada masa itu. Sedangkan sistem kedua berdasarkan partnership. Dengan sistem tersebut, pemilik alat tenun menyewakan alat tenun dan bahan baku lantas mengambil seperlima dari keuntungan bersih hasil penjualan.

Sejarah Shal Kashmir Part3: Sejarah Era Tradisional

Secara garis besar, babakan sejarah shal Kashmir dapat dibagi menjadi 5, yaitu:
1. Era Shal Tradisional
2. Era Industrialisasi Modern (masalisasi, pembukaan hubungan dengan Eropa)
3. Era Migrasi
4. Era Puncak Kejayaan dan Penenunan Shal di Eropa
5. Era Kejatuhan Shal Kashmir

Pembagian semacam itu sebenarnya cukup cair, karena masing-masing babakan terkait langsung dan kadang bertumpukan dengan era lainnya.


· Era Shal Tradisional

Penenunan shal pra-klasik diperkirakan telah dimulai sejak abad ke-11. Berdasarkan legenda setempat yang dikenal lebih dari seribu tahun silam, penemu shal (baca: kembali) adalah Zain-ul-’Abidin alias Kashmir Akbar (1420-1470 M.). Zain-ul-’Abidin memperkenalkan pola tenunan Turkistan dalam rangka program peningkatan usaha padat karya.

Kendati akhirnya legenda ini hanya sekadar legenda, ini rupanya cukup signifikan, mengingat fakta bahwa dalam perjalanan industri tenun tradisional India pada awal abad ke-19, satu hal yang cukup membingungkan adalah teknik dasar itu sendiri. Teknik ini setara dengan teknik di Persia dan Asia Tengah tetapi bukti-bukti kesetaraannya tak ditemukan di sub-kontinen India itu sendiri.

Sejarawan tekstil Barat menyebutnya the twill-tapestry technique karena kemiripannya dengan beberapa teknik tradisional tenun tapestri di Eropa. Inti teknik ini adalah motif tak dibuat dari susunan benang pakan yang melintang sepanjang lebar kain, melainkan dibuat dari susunan benang warna-warni yang ditenun hanya di tempat warna tersebut diperlukan, seperti dalam pembuatan tapestri atau sulaman.

Sejak sebelum masa kekuasaan Dinasti Mughal yang menginvasi Kashmir pada 1586, shal sudah mendapatkan tempat terhormat. Dalam Ain-i-Akbari, The Institutes of Akbar, buku yang sering dijadikan rujukan sejarah Kashmir, dikatakan bahwa sang orang-orang Kashmir pada masa itu menggunakan shal sebagai hadiah dan untuk dikirim ke negeri-negeri yang jauh. Bahkan Kashmir Akbar menyatakan dirinya sebagai pengagum berat shal.

Sang Kashmir Akbar tak hanya memakai shal sebagai pelapis jubah yang dikenakan dengan cara biasa, yakni diselendangkan (patut diingat bahwa pemakaian shal sebagai bawahan hanya ditemukan di Persia—red.). Ia juga memperkenalkan gaya fashion baru dengan menggunakannya berpasangan, yang dikenal dengan istilah dashala. Dengan cara ini, kedua bagian belakang shal menempel satu sama lain pada tubuh, sehingga bagian buruknya tak terlihat.

Dari sumber yang sama kita mengetahui bahwa Shal yang sangat didambakan pada masa awal dinasti Mughal adalah shal yang dibubuhi benang emas dan perak. Orang Barat menyebutnya sebagai Gold Shawl. Manrique (1630) menggambarkan bahwa shal terbaik memiliki “border yang dihiasi pinggiran dari benang emas, perak, dan sutra. Katanya, "Mereka (Pangeran dan bangsawan) menggunakannya seperti jubah, baik menyelendangkannya maupun dengan cara lain menyandangnya di tangan. Jenis ini ditenun dalam warna putih, dicelup dalam warna yang diinginkan, lantas dihias dengan bunga-bunga dan dekorasi lain dalam beraneka warna yang tampak meriah.”

Gold Shawl ini pun kadang disebutkan dalam dokumen awal English East India Company sebagai barang yang populer dalam perkara sogok-menyogok. Terkadang shal-shal tersebut ditawarkan oleh aparat pribumi kepada bangsa Eropa, demi memohon dan menegakkan kekuasaan orang pribumi kepada orang asing di tanahnya sendiri.

Sejarah Shal Kashmir Part2: Material



Material tenunan shal Kashmir tradisonal adalah bulu kambing gunung Asia Tengah, mamalia berselimut wol yang disebut Capra hircus. Bulu binatang tersebut tumbuh sebagai bentuk perlindungan alamiah terhadap musim dingin dan rontok kala tiba musim panas. Jenis inilah yang populer di Barat karena harga dan mutunya, meskipun shal yang terkenal dan diproduksi di Eropa sendiri menggunakan material lain seperti sutra, katun, dan benang emas.


Padang rumput di selatan Cizre,Turki.
Kawanan domba ini merupakan milik suku Goyan Kurds—
pembuat tenunan tapestri Asia Tengah. (Foto: Mehmet Kiliç)

Walaupun kambing merupakan penghasil utama wol shal, bulu binatang serupa diambil juga dari domba gunung liar Himalaya seperti Shapo (Ovis orientals vignei blythi), Argali (Ovis ammon linnaeus), dan Bharal (Pseudois nayaur hogson). Bahkan anjing gembala Tibet diakui memiliki bulu yang serupa.

Bulu-bulu di pasar Kashmir ini dikategorisasikan dalam dua kelas yang jauh perbandingan mutunya. Yang terbaik dan termasyur diambil hanya dari binatang liar Capra hircus, dikumpulkan dari cadas dan belukar tempat binatang tersebut berlindung dari cuaca yang mulai menghangat. Bulu terbaik diambil dari daerah di bawah pusar, sekitar perut. Bulu jenis ini dikenal karena kehangatan dan kehalusan laiknya sutra dikenal, disebut dengan istilah asli tus. Kualitas super dari kelas ini menghadirkan bulu yang lebih panjang dan lebih kuat, yang diambil dari tempat binatang tersebut menghabiskan musim dingin. Material yang disebut terakhir inilah yang melegenda dalam sejarah shal sebagai “shal cincin” yang dipopulerkan pada masa Dinasti Mughal India karena dapat dilingkarkan mengelilingi ibu jari (pada umumnya, bulu domba tidak sepanjang itu.........)

Akan tetapi, pada kenyataannya asli tus ini tak begitu marak di pasaran. Jumlah shal yang ditenun dengan asli tus murni kemungkinan hanya sepersekian dari keseluruhan shal. Hal ini dipengaruhi oleh kelangkaan komparatifnya, tingginya biaya impor, serta waktu dan usaha ekstra yang diperlukan dalam proses pembersihan dan pemintalannya. Pada 1891, impor asli tus tahunan mencapai kurang dari seperenam dari total persentase terbesar impor wol shal lain. Di seantero Kashmir sendiri hanya ada dua alat tenun yang mengkhususkan diri menghasilkan tenunan dari asli tus murni.

Kelas kedua wol shal dihasilkan oleh kambing piaraan dari spesies yang sama. Jenis ini menempati bagian terbesar bahan baku tenunan Kashmir.

Sebelum tahun 1800, kebanyakan wol jenis ini datang dari Ladakh dan Tibet Utara. Namun, tak sampai seabad kemudian, berjangkit epidemik yang menyerang kambing di wilayah tersebut, dan selanjutnya suplay wol terutama dipasok secara kolektif dari suku-suku nomad Kirghiz dan diimpor melalui Yarkand dan Khotan.

Pada paruh kedua abad ke-19, sumber utama wol adalah Sinkiang dan Turfan. Karena suplay barang pada masa itu lumayan jarang memenuhi permintaan pasar, harga bulu kambing meningkat tajam. Inilah penyebab pemalsuan dan penurunan standar shal tradisional, yang tak pelak lagi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penurunan pasar shal pada kurun 1860-an.

Dalam urusan pewarnaan benang, pada masa Mughal, lebih dari 3.000 warna digunakan secara reguler. Akan tetapi, pada awal abad ke-19, angka tersebut menurun hingga tinggal 64. Kebanyakan merupakan bahan pewarna alam: biru dan ungu dari indigofera, oranye dan kuning dari karthamus dan saffron, merah dari kayu logwood. Tetapi sumber lain banyak pula digunakan, termasuk cochineal untuk warna merah tua (crimson) dan serbuk besi untuk hitam. Yang cukup aneh adalah warna hijau. Tersiar kabar bahwa warna ini diekstrak dari baize atau gaun lebar wanita. Baize ini sengaja diimpor dari Inggris dan digodok hanya untuk mendapatkan warna unik itu.
(Wallahu alam bissawab......)

Sejarah Shal Kashmir Part1

Apa itu shal?

Kata “shal” yang berasal dari bahasa Persia merupakan dasar bagi terbentuknya kata Inggris“shawl” yang sering diterjemahkan menjadi selendang. Dalam bahasa Indonesia, dikenal kata “syal”, suatu jenis pakaian yang berupa kain tenunan dari bahan wol sebagai penghalau dingin yang dililitkan di leher atau bahu. Pada pengertian dasarnya, kata tersebut lebih merujuk pada suatu kelas bahan tenunan ketimbang secara spesifik menyebutkan bagian atau jenis pakaian.

Selain shal, ada dua pengertian lain yang merujuk pada jenis kain tenun yang sama, yaitu pashmina dan cashmere. Pashmina berasal dari kata Persia “pashm”, yang pada dasarnya berarti segala jenis wol, sedangkan cashmere mengacu pada ejaan lama untuk menyebut daerah asal shal yang terkenal di Eropa, yaitu Kashmir. Istilah tersebut sebenarnya menyesatkan, karena walaupun benar shal terbuat dari wol dan Kashmir merupakan daerah asalnya, wol untuk shal tersebut diimpor dari Tibet atau Asia Tengah dan tak diproduksi lokal. Lagipula pada perkembangannya, shal tak lagi hanya ditenun di Kashmir, meski tetap mengusung nama shal Kashmir.

Secara tradisional di tempat asalnya, shal dapat digunakan sebagai turban (lilitan besar kain panjang pada kepala orang Turki atau Persia), kerudung, mantel, scarf, bahkan selimut—tergantung pula pada tekstur bahan juga kondisi masyarakat tempat pembuatan shal tersebut. Keragaman fungsi shal tersebut terkait dengan bahan dasarnya. Shal terbuat dari bulu domba atau bulu binatang lain, bahan hangat yang membuatnya begitu fleksibel dikenakan dalam bentuk apapun.

Dalam pengertian Eropa yang juga merupakan pengertian umum dunia, shal adalah sebuah bahan mantel tanpa jahitan yang dikenakan menyampir pada bahu, sebagian maupun keseluruhan, yang terbuat dari tenunan bulu binatang. Fakta mengenai hal itu bisa ditemukan dalam lukisan potret sekitar abad ke-17 hingga abad ke-19, masa-masa puncak kepopuleran shal.

Seorang pengelana Italia, Pietro della Valle, pada 1623 meneliti bahwa di negara asalnya, Persia, shal dipakai sebagai kain di bawah pinggang. Di India sendiri, negara tempat berkembangnya shal dekoratif hingga dikenal di Eropa, shal ini lebih sering digunakan dengan disampirkan pada bahu. Dipakai dengan cara demikian di India, awalnya shal merupakan pakaian pria, dan secara tradisional melambangkan derajat kebangsawanan tergantung kualitas shal itu sendiri. Walaupun bentuk pakaian ini begitu sederhana, tak diragukan lagi bahwa shal memiliki sejarah panjang di dunia Timur. Di era modern kala ini, shal dengan kualitas terbaik identik dengan nama Kashmir.

Hi...

Blog ini diperuntukkan bagi pecinta tekstil, terutama sejarah tekstil. Buat kalian yang kuliah di jurusan tekstil maupun yang tertarik ma tekstil... hayu mampir. Yang aku tulis di sini (awal-awal) adalah hasil makalah aku waktu masih kuliah dulu. Baru ke sananya aku niat sengaja nulis untuk blog... maksudnya bikin penelitian sendiri. Doain aja ya...

Nah, karena makalah aku panjang-panjang, biar gampang bacanya, aku bagi dalam beberapa section ya... mmm... kalo misalnya ada yang tertarik, nanti aku edit (benar-benar edit) supaya pembagiannya lebih rapi .... misalnya untuk jadi artikel majalah ato semacamnya.

Oh, iya... ini DAFTAR PUSTAKA untuk makalah aku... ditulis duluan aja deh

Andrews, Meg. Beyond The Fringe: Shawls of Paisley Design. Victoriana.com
Marlett, Marla. Woven Structure Update. Marla Marlett’s Textile.com
Poespo, Goet. Aneka Gaun (Dresses). 2000. Yogyakarta: Kanisius
Storey, Joyce. The Thames and Hudson Manual of Textile Printing. 198x. The Thames and Hudson Publication.
TextileAsArt.com. History of Kashmiri Shawl.
______________. Kashmiri Antique Shawls Catalogue.

Oke, dimulai aja ya...

eng ing eng...