Pembuatan selembar shal saja biasanya melibatkan sekurangnya 12 tenaga kerja. Mereka adalah tenaga kerja spesialis, dalam artian bekerja dengan pembagian tugas yang jelas. Mereka bekerja di bawah komando dari produsen shal, yang pada masa itu disebut ‘ustad. Para produsen ini biasanya memiliki alat tenun sendiri.
Yang pertama adalah pemintal. Pada masa itu, umumnya pemintal adalah para wanita. Mereka bekerja di rumah masing-masing dengan alat pintal sendiri.
Bahan baku diberikan kepada mereka dalam kondisi yang amat kotor. Tugas pertama mereka adalah memisahkan dan membersihkan bulu-bulu tersebut. Bulu-bulu tersebut dikategorikan menjadi bulu yang bagus, bulu inferior, dan rambut.
Bulu yang akan digunakan (yang bagus) hanya sekitar sepertiga berat semula, dan ini harus dibagi lagi menjadi dua kelas kualitas. Kelas pertama digunakan untuk bagian luar shal. Sedangkan kelas kedua dikenal sebagai phiri, wol kelas dua, yang diperuntukkan sebagai bagian dalam shal (inferior).
Lembar-lembar serat ini dipintal hingga panjangnya sekitar 2.500 yard, lantas dilipat-ganda dan dipilin. Untuk pekerjaan ini sang pemintal mendapatkan maksimum 1,5 anna (mata uang yang satuannya lebih rendah dari rupee) per hari.
Pekerjaan pendahuluan sebelum masuk masa produksi penenunan terbilang independen. Hal ini berarti pembelian barang jadi atau setengah jadi sebelum proses dan penjualan serat jadi dilakukan oleh perorangan atau kelompok kerja. Mereka hanya mendapat keuntungan dari penjualan kembali serat, tanpa upah kontrak dari 'ustad.
Selain pemintalan, proses pra-produksi berikutnya adalah pencelupan warna. Proses ini dilakukan di kelompok kerja yang lain.
Memasuki tahap produksi, terlihat spesialisasi dan organisasi yang lebih tegas. Dalam sebuah industri tradisional, terdapat pembagian tugas menjadi warp-maker (pemilin lusi), warp-dresser (penganji lusi), warp- threader (pemasang lusi), pattern-drawer (pembuat pola)colour-caller (ahli warna), pattern-master (ahli pola), dan kelompok penenun.
Tugas warp-maker adalah memilin benang hingga ketebalan tertentu untuk lusi (biasanya 2.000—3.000 lusi ganda dibutuhkan untuk sebuah shal) . Kemudian warp-dresser memberi kanji pada lusi, dan warp-threader mengaitkan lusi dari ujung alat tenun ke ujung lainnya.
Selain pekerja yang menyiapkan benang lusi sebagai bagian utama shal, kelompok spesialis kerja lain menyiapkan lusi sutra sebagai border pinggir. Pemakaian lusi sutra untuk bagian ini dimaksudkan untuk memberi kekakuan pada shal sehingga dapat menggantung dengan baik pada tubuh. Sayangnya, pemberian border sutra ini dapat menyusutkan dan kadang merusak bentuk shal saat dicuci.
Pembuat pola (naqqash) karya seniman pribumi, C.1823.
Indian Office Library, Oriental Vol. 71
Selain itu, ada pula pattern drawer alias pembuat pola yang disebut naqqash. Naqqash memegang posisi kunci dalam pembuatan shal, karena ialah yang menentukan desain shal. Keahlian ini dianggap tinggi, terlebih lagi jumlah naqqash terbilang langka, sehingga ialah yang menerima pembayaran terbesar, melebihi penenunnya sendiri.
Walau kadang naqqash mewarnai sendiri gambarnya, ada pula posisi yang disebut tarah guru (colour-caller). Tugasnya adalah memilih dan menentukan warna. Ia juga membuat sketsa jumlah lusi yang dibutuhkan dalam penenunan yang akan dikerjakan.
Selanjutnya, pola shal tersebut diserahkan kepada ta’lim guru (pattern-master). Ia menerjemahkan hasil kerja tarah guru menjadi memo kerja yang dapat dimengerti oleh penenun.
Bisa dikatakan tidak ada penenun wanita, semuanya adalah pria. Kebanyakan dari mereka adalah ‘ustad itu sendiri, yang langsung menjual hasilnya kepada pembeli atau distributor. Namun, ada pula pekerja-pekerja yang diupah untuk menenun.
Ada dua sistem kontrak utama antara 'ustad dan para pekerjanya. Sistem pertama berdasar pada hasil kerja. Berdasarkan sistem ini, penenun mendapatkan hasil tetap untuk tiap ratus gelondong benang yang melewati jejeran lusi. Pendapatan maksimum per orang pada awal abad ke-19 sekitar 1 anna per hari, setara dengan 1 penny pada masa itu. Sedangkan sistem kedua berdasarkan partnership. Dengan sistem tersebut, pemilik alat tenun menyewakan alat tenun dan bahan baku lantas mengambil seperlima dari keuntungan bersih hasil penjualan.